Part. 29
Flashback 1. Ushijima pov
“Ugh, sebentar lagi bu.” Aku meracau karena tidur ku terganggu.
“Katanya mau nonton pertandingan ayah?” Ucap ibuku, dan aku langsung terbangun mendengar nya. Ah, benar juga, aku lupa ayah ada pertandingan.
“Kalau begitu, aku akan mandi bu. Tolong siapkan bajuku.” Ucapku sambil bergegas menuju kamar mandi. Aku lihat ibuku hanya menggelengkan kepala sambil senyum.
Selama di kamar mandi, aku sangat senang karena bisa menonton pertandingan ayah secara langsung, karena pertandingan hari ini akan digelar di sendai stadium. Dekat dengan dengan rumah kami. Kata ayah, mereka akan melawan tim Argentina. Aku tidak tau Argentina itu dimana, kata ayah itu sangat jauh.
Setelah selesai mandi, aku memakai baju yang disiapkan ibuku lalu aku sarapan. “Ini masih terlalu pagi untuk pergi ke sendai.” Ucap ibuku, aku menatap nya. “Aku ingin melihat mereka latihan, dan meminta tanda tangan mereka satu-persatu.” Jawab ku, ibuku hanya tersenyum.
Ah, aku belum mengenalkan siapa aku. Perkenalkan aku Wakatoshi, umur ku 11 tahun, aku kelas 5 sekolah dasar. Ayah ku pemain voli, ibuku ibu rumah tangga. Aku tidak mempunyai adik ataupun kakak. Ayah ku sering mengajari aku cara bermain voli, aku jadi suka bermain voli, dan berharap bisa menjadi seperti ayah. Cukup perkenalan ku, terima kasih.
“Bu, sudah ayo kita berangkat. Kalau ibu sibuk, ibu bisa mengantarkan ku saja tanpa harus menungguku.”
“Iya, ibu akan mengantar kamu aja ya nak, ibu mau ke rumah nenek.” Aku mengangguk mendengar ucapan ibu.
Ibuku mengantarkan aku sampai depan stadium, disana masih sepi, hanya ada beberapa orang dan wartawan disana. “Masuk lah, dan temui ayahmu, ibu sudah memberi pesan kepada nya. Ibu akan menunggu disini sampai kau bertemu ayahmu.” Ucap ibuku, aku mengangguk dan berjalan masuk, aku melihat ayahku disana, dan aku menoleh kebelakang untuk melihat ibu, ibu menganggukkan kepalanya dan memasuki mobil lalu pergi.
“Ayah, aku mau lihat kalian latihan dan aku ingin meminta tanda tangan pemain Jepang dan argina.”
“Haha, Argentina sayang bukan argina. Yasudah ayo.”
“Ah iya maksudku Argentina.”
Ayah membawaku ke dalam ruang ganti tim Jepang, aku dapat melihat mereka sedang bersiap untuk pertandingan, dan aku meminta tanda tangan mereka satu persatu, termasuk pelatih nya. Mereka semua mentertawakan aku. Aku pikir apa yang lucu, bukan kah ini biasa.
Lalu ayah membawa ku ke ruang ganti Argentina, ayah menjelaskan bahwa aku ingin meminta tabda tangan mereka, untung saja mereka mau. Lalu aku meminta tanda tangan mereka satu persatu, termasuk pelatihnya. Setelah mendapatkan tanda tangan mereka, aku membungkuk dan mengucapkan terima kasih.
Saat aku melihat mereka latihan, aku terpukau pukulan mereka yang luar biasa. Aku ingin menjadi seperti mereka. Pertandingan pun dimulai, aku melihat 2 bocah yang sepertinya seumuran dengan ku sangat heboh menonton pertandingan ini, apalagi bocah dengan rambut coklat, tapi aku terpana melihat nya.
Sepanjang pertandingan aku tidak fokus melihat pertandingan nya, fokus ku hanya pada bocah berambut coklat itu, entah mengapa jantung berdetak sangat cepat. Aku tidak mengerti perasaan apa ini. Sampai akhirnya pertandingan pun selesai dan ayahku memanggilku.
“Wakatoshi, ayo. Kenapa diam begitu?” Ucap ayahku, aku melihat ke arah lain, ke arah bocah surai coklat tadi yang terlihat ingin meminta tanda tangan dari pemain Argentina, tadinya aku ingin memberi kan kertas ku padanya, namun ayah menyuruhku untuk cepat. Sampai bertemu lagi bocah coklat.
5 bulan setelah pertandingan itu, ayahku mengalami cedera, yang mengharuskan dia berhenti dari karirnya menjadi atlet voli, ayah dan ibuku sering bertengkar, entahlah aku tidak terlalu mengerti, sampai suatu hari nenek datang ke rumah kami dan berbicara dengan ayah dan ibu, aku hanya menggambar.
Nenek tidak suka dengan ku yang kidal, nenek bilang itu tidak baik, tapi aku menganggap ini istimewa, sampai akhirnya ayah bilang padaku bahwa dia akan pergi ke luar negeri, dan aku harus disini bersama ibu.
Sekarang aku sudah smp, aku masuk ke sekolah yang sama dengan ayahku, yaitu shiratorizawa. Disini aku mengikuti ekskul voli, aku bermain untuk posisi wing spiker. Aku berlatih bersama tim ku, karena akan ada pertandingan antar smp di distrik ku untuk kualifikasi menuju tingkat nasional. Aku sangat bersemangat.
Aku melihat keseluruhan tim, dan aku terpana melihat barisan sekolah dengan papan nama “kitagawa daichi” itu dia, si bocah coklat, iya itu dia, aku tidak salah, itu dia, aku menemukan nya. Wajahnya imut sekali, dia juga bersama teman nya dulu. Aku tidak punya teman disini untuk ku ajak berbagi cerita, jadi aku pendam sama perasaan ku ini.
Sekolahku melawan sekolah nya pada pertandingan final, sekolah ku menang melawan sekolah nya, aku melihat dia sangat sedih dan menangis. Aku akui permainan nya sangat bagus, dia bermain untuk posisi setter, dan toss yang diberikan itu sangat sempurna, rasanya aku ingin menjadikan nya setter ku. Aku kasihan, tapi aku tak bisa berbuat apa apa.
Sampai akhirnya, itu terus terjadi sampai aku lulus smp. Sekarang aku masuk sma shiratorizawa, dan kudengar dia masuk aoba johsai, sayang sekali padahal ku dengar dia juga mendapatkan undangan dari shiratorizawa, tapi dia menolaknya dan memilih aoba johsai.
Di sma, aku mempunyai teman, yaitu tendou, semi, ohira dan kawanishi. Mereka sering bertingkah aneh dan konyol, tapi walaupun begitu hanya mereka yang dekat dengan ku.
“Wakatoshi-kun, kenapa kau selalu memandang foto setter aoba johsai?” Tanya tendou yang tiba-tiba ada di kamar asrama ku.
“Astaga tendou, kenapa kau ada disini?” Aku terkejut.
“Aku sudah mengetuk, tapi kau tak dengar. Jadi kenapa kau selalu memandangi foto majalah setter aoba johsai?”
“Saya menyukainya.” Jawab ku tegas.
“Eh? Kau serius?”
“Saya serius.”
“Ya, kau tak pernah bercanda. Mau aku bantu?”
“Entahlah, dia sepertinya membenci saya.”
“Coba aja dulu, ajak ngobrol gitu. Tapi jangan bikin takut, muka mu harus senyum wakatoshi-kun.”
Aku berpikir, apakah wajahku semenyeramkan itu? Aku pikir tidak, wajahku memang seperti ini dari dulu. Setiap aku mendekati oikawa dan mencoba mengobrol dengan nya, dia terlihat marah dan tidak suka padaku, entah kenapa. Hari ini pun juga sama, ini tahun terakhir kami di sma, aku mengajaknya mengobrol setelah dia dan tim nya kalah melawan karasuno.
“Oikawa, harusnya kamu ke shiratorizawa, agar kemampuanmu tak terbuang sia sia.”
“Brisik, cuma mau ngomongin ini? Aku udah bosen ya ushiwaka, sampe kapanpun aku gabakal mengikuti mu. Bye.”
Oikawa terlihat marah ketika mengatakan itu, aku jadi tak enak, tapi bagaimana lagi.
“Kalo besok ga sibuk, bisa nonton pertandingan ku melawan karasuno?” Oikawa tak menjawab nya, akupun tak bisa berbuat apa-apa.
Keesokan harinya, aku melihat oikawa di kursi penonton bersama iwaizumi, entah dia mendengar perkataan ku kemarin atau memang hanya ingin datang menonton, tapi aku senang dia datang.
Namun, sayang sekali tim ku dikalahkan oleh karasuno, aku sedih tapi juga terkesan karena akhirnya ada yang mengalahkan ku, bukan aku sombong, tapi selama ini aku tak terkalahkan.
Ketika aku sedang menelpon ayahku, oikawa menghampiriku dengan wajah mengejek khas nya, aku merasa bahwa itu menggemaskan.
“Hei, ushiwaka. Sekarang kau mengerti kan? Rasanya dikalahkan. Cih, jangan sok kuat kau. Selamat atas kekalahan mu.”
Setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja. Aku hanya menggelengkan kepala, sifat oikawa itu membuat ku penasaran.
Setelahnya aku mendengar bahwa dia akan pergi ke Argentina, aku ingin mengucapkan salam selamat tinggal, namun iwaizumi bilang dia sibuk mempersiapkan berbagai hal, bahkan iwaizumi pun jarang bersama oikawa sekarang. Dan akhirnya sampai dia ke Argentina pun, aku tak menemui dia lagi.
Aku mengunjungi ayahku, di california, Amerika Serikat. Ayahku menjadi pelatih profesional untuk tim voli disana. Ketika aku ingin memasuki rumah ayahku, aku melihat seseorang yang famikiar untuk ku sedang berdiri di depan gerbang rumah ayahku.
“Hei, Who Are you?” Aku bertanya.
“Oh, sorry— Hah? Ushiwaka? Kau sedang apa disini?” Ucap orang itu kaget melihat ku.
“Oh, iwaizumi-san, kau sendiri sedang apa disini? Ini rumah ayah ku.” Jawab ku.
“Oh? Kau anaknya takashi utsui-san? Tapi marga kalian berbeda?”
“Karena ayah dan ibuku bercerai, aku pakai marga ibuku.”
“Oh, maaf. Jadi apakah ayahmu ada di rumah?”
“Sekarang tidak ada, dia sedang ada di gym sekarang. Mau ku antar atau tunggu saja?”
“Ah tidak usah, aku tau tau dimana gym nya, dan Oh, bisa kita berfoto? Untuk dikirim ke oikawa bahwa aku bertemu musuh bebuyutan nya.”
“Kau masih berhubungan baik dengan oikawa ya? Yasudah boleh.”
Akupun berfoto dengan iwaizumi-san, dan dia mengirim nya ke oikawa. Setelah itu aku meminta nomor oikawa pada iwaizumi-san, awalnya memang sulit karena oikawa berkali-kali memblokir nomornya, sehingga aku minta tolong kepada iwaizumi-san agar oikawa membuka blokir nya.
Setelah satu minggu, oikawa membuka blokir nya dan menelpon ku, aku terkejut, karena tak biasanya dia menelpon ku seperti ini. Setelah aku angkat, aku terkejut karena dia menangis. Dia bilang dia lelah, dia bilang dia ingin menyerah, kau mendengarkan semuanya, sampai akhirnya aku berniat untuk menemuinya, aku berangkat dari Jepang ke Argentina menggunakan pesawat pribadi milik ibuku.
Ketika aku tiba disana, keadaan oikawa sangat kacau, matanya sembab, diq langsung memeluk ku dan menangis. Sejak saat itu, hubungan ku dengan oikawa membaik, dan aku beranikan diri untuk menyatakan perasaan ku padanya. Dan syukurlah oikawa menerima ku.
Aku menemui orang tua oikawa, dan meminta restu nya, syukurlah lagi keluarga oikawa menerimaku. Bahkan takeru sering berlatih dengan ku. Begitu juga dengan keluarga ku, mereka senang aku menjalin hubungan dengan oikawa, nenek ku berkata “oikawa-kun seperti penyegaran, aku suka melihatnya.”
Jadi begitulah kisahku untuk mendapatkan hati oikawa tooru. Aku berharap hubungan kami sampai pelaminan.
Tbc